Selasa, 15 Januari 2013

Filsafat dapat Menumbuhkan Pemikiran Radikal


Filsafat dapat Menumbuhkan Pemikiran Radikal
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pengampu: Prof. Marsigit)
Camalina Sugiyarti
(12708251078/Psn D)
PPs UNY
2013

Pemikiran radikal adalah pemikiran yang out the box, pemikiran maju atau on the future, pemikiran visioner, pemikiran yang berbeda dari yang lain, dan pemikiran yang jauh ke depan, sehingga kadang dirasa aneh karena tidak biasa. Tokoh-tokoh hebat dalam sejarah banyak yang memiliki pemikiran radikal. Mungkin pada masanya mereka dianggap gila atau tidak waras dengan pemikirannya, dan bahkan ada yang dihukum mati karena pemikirannya. Namun nyatanya pemikiran mereka terbukti benar puluhan atau bahkan ratusan tahun setelahnya. Pemikiran radikal ini dapat melahirkan karya-karya berupa teori, rumusan, prinsip, atau hukum yang luar biasa.
Orang-orang yang memiliki pemikiran radikal adalah orang-orang yang kritis dan peka, sangat peduli dengan keadaan di sekitarnya. Mempunyai pemikiran yang kritis adalah salah satu syarat seseorang dalam berfilsafat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan kebiasaan berfilsafat, menerjemahkan dan diterjemahkan, maka dapat menumbuhkan pemikiran radikal. Salah satu tokoh yang terkenal dengan pemikiran yang radikal adalah Galileo Galilei.
Galileo Galilei, lahir di Pisa, Toscana, 15 Februari 1564 dan meninggal di Arcetri, Toscana, 8 Januari 1642 pada umur 77 tahun, adalah seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah. Sumbangannya dalam keilmuan antara lain adalah penyempurnaan teleskop, berbagai pengamatan astronomi, dan hukum gerak pertama dan kedua (dinamika). Selain itu, Galileo juga dikenal sebagai seorang pendukung Copernicus mengenai peredaran bumi mengelilingi matahari.
Akibat pandangannya yang disebut terakhir itu ia dianggap merusak iman dan diajukan ke pengadilan gereja Italia tanggal 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan ajaran Aristoteles maupun keyakinan gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Ia dihukum dengan pengucilan (tahanan rumah) sampai meninggalnya. Baru pada tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman itu adalah salah, dan dalam pidato 21 Desember 2008 Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa Gereja Katolik Roma merehabilitasi namanya sebagai ilmuwan.
Menurut Stephen Hawking, Galileo dapat dianggap sebagai penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Ia juga sering disebut-sebut sebagai "bapak astronomi modern", "bapak fisika modern", dan "bapak sains". Hasil usahanya bisa dikatakan sebagai terobosan besar dari Aristoteles. Konfliknya dengan Gereja Katolik Roma (Peristiwa Galileo) adalah sebuah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir (terutama dalam sains) pada masyarakat Barat.
Itulah sepenggal kisah kehidupan seorang yang mempunyai pemikiran radikal, Galileo. Dia harus menanggung hukuman pengucilan sampai akhir hayatnya atas pemikirannya yang radikal tersebut. Namun pada akhirnya Galileo dipuja-puja sebagai sebagai "bapak astronomi modern", "bapak fisika modern", dan "bapak sains" juga karena pemikirannya yang radikal.
Referensi:

Menilik Filsafat Relativisme dan Implikasinya dalam Pembelajaran Fisika


MENILIK ALIRAN FILSAFAT RELATIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN  FISIKA

Makalah Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr Marsigit M.A., Th 2012/2013

Disusun oleh:
Camalina Sugiyarti S.Pd
12708251078
Pendidikan Sains
Kelas D

BAB I
PENDAHULUAN

Dahulu, saat ini, dan saat yang akan datang sains atau IPA memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kehidupan kita tergantung dari alam. IPA berasal dari kata “Scientia  yang berarti saya tahu. Tahu dalam artian kompeten dengan keilmuan IPA beserta nilai-nilai dan sikap ke IPA an. Secara utuh IPA adalah natural science, yang di dalam bahasa Indonesia adalah Ilmu Pengetahuan Alam, ilmu yang mempelajari tentang alam (Supriyadi, 2010:98). Secara keilmuan hakikat fisika tidak akan lepas dari hakikat IPA, karena fisika masuk dalam rumpun IPA.
Fisika terus berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga zaman power now saat ini. Fisikawan pada zaman Yunani kuno antara lain Aristoletes, Copernicus, Demokritus, dan Archimedes.  Sampai dikenal istilah fisika klasik dan fisika modern. Tokoh fisika klasik paling terkenal adalah Sir Isaac Newton, sedangkan pada fisika modern adalah Albert Einstein. Walaupun sebenarnya masih banyak fisikawan lainnya seperti Niels Bohr, Erwin Schrodinger, Max Planck, Thomas Young dan lainnya.
Terjadi perubahan besar di bidang fisika setelah Albert Einstein (1879–1955) pada tahun 1905 menemukakan teori relativitas khusus, dan sepuluh tahun kemudian diusulkan teori relativitas umum. Relativitas berasal dari kata relatif, lawannya adalah kemutlakan. Berlandaskan pada teori relativisme yang dikemukakan oleh Einstein tersebut maka akan dibahas bagaimana implikasinya dalam pembelajaran fisika.
Pembelajaran fisika dipelajarai melalui pendidikan fisika. Pendidikan fisika merupakan cabang ilmu, yang terdiri dari interdisiplin ilmu yaitu ilmu fisika dan ilmu pendidikan. Dipandang dari segi epistimologinya, bidang ilmu fisika dan bidang ilmu pendidikan fisika memang berbeda, layaknya orang tua dan anak kecil. Jika dilihat dari waktu lahirnya, ilmu fisika sudah mulai berkembang ada sejak awal  peradaban manusia, sedangkan ilmu pendidikan fisika pada abad baru-baru ini. Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan fisika sebagai suatu bidang ilmu, saat ini belum mendapat perhatian yang semestinya dari para ahli fisika.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa dengan menguasai bidang ilmu fisika maka seseorang sudah cukup cakap menjadi guru fisika. Padahal tidak sesederhana itu, para ahli fisika memandang pendidikan fisika secara reduksionism. Seorang yang ahli di bidang pendidikan fisika harus terlebih dahulu menguasai ilmu fisika sampai tingkat tertentu, kemudian harus memahami pula ilmu pendidikan dengan bidang-bidangnya, dan dapat menerapkan teori-teori ilmu pendidikan dalam konteks ilmu fisika untuk tujuan proses pembelajaran.

BAB II
RELATIVISME DAN PEMBELAJARAN FISIKA

A.    Aliran Relativisme
Relativisme dalam Wikipedia diartikan sebagai konsep bahwa sudut pandang tidak memiliki kebenaran mutlak , hanya memiliki kebenaran relatif, nilai subyektif menurut perbedaan persepsi dan pertimbangan. Relativisme, yang merupakan doktrin bahwa tidak ada kebenaran mutlak, yaitu kebenaran itu selalu relatif terhadap beberapa frame tertentu, seperti bahasa atau budaya.
Relativisme diidentifikasi sebagai kritik dari tesis bahwa semua sudut pandang yang sama berlaku. Dalam etika, dikatakan bahwa semua moralitas sama-sama baik, dalam epistemologi ini menunjukkan bahwa semua keyakinan, atau sistem kepercayaan, sama-sama benar. Kritik relativisme biasanya mengabaikan pandangan seperti inkoheren karena menyiratkan validitas bahkan dari pandangan bahwa relativisme adalah palsu (Emrys Westacott, 2005: 1).
Mungkin karena relativisme dikaitkan dengan pandangan seperti itu, sedikit filsuf yang bersedia untuk menggambarkan diri mereka sebagai relativis. Namun, sebagian besar pemikir terkemuka yang telah dituduh relativisme-misalnya, Ludwig Wittgenstein, Peter Winch, Thomas Kuhn, Richard Rorty, Michel Foucault, Jacques Derrida-do berbagi kesamaan tertentu yang sementara dikenali relativistik, menyediakan dasar untuk posisi yang lebih canggih, dan mungkin lebih dapat dipertahankan.
Relativisme juga diapandang sebagai  suatu paham kenisbian. Sebuah teori yang diperkenalkan oleh Einstein mengenai alam semesta yang berdasarkan prinsip bahwa ukuran gerakan,ruang dan waktu bersifat relatif. Lawannya adalah kemutlakan.
Filosofi relativisme berpendapat bahwa manusia terikat dengan kejadian-kejadian di dunia dan itu membuatnya mungkin bagi setiap orang untuk berdiri di suatu sisi dan mengamati sebagian “dari kejauhan”.  Pendekatan ini pada dasarnya relevan ketika mempelajari apapun dalam masyarakat manusia. Metode ilmiah, sayangnya, terikat pada trek inkonsistensi, konflik dan kepercayaan, idealisme, dan perasaan yang terbentuk sebagai bagian penting dalam hidup manusia.
Terkait dengan parsimoni, relativis percaya hidup dan masyarakat tidak sesederhana dan seragam yang membuat penjelasan sederhana menjadi mungkin, sebab simplikasi biasanya menyiratkan oversimplikasi (overreduksionis). Kendati kerumitan tidak bisa dihindari, sungguh jarang terjadi dalam menyimpulkan suatu bentuk formula yang mendekati. Sementara dalam generalitas, relativis menolak keutamaan atau bahkan posibilitas dari mengkategorisasikan individual dan bahkan kelas. Sebab keunikan dari masing-masing manusia sangat sulit untuk memprediksikan masa depan dengan kondisi serupa.
Apa yang dipandang sebagai kebenaran oleh satu orang atau sekelompok orang belum tentu berlaku bagi orang atau kelompok lain. Ukuran untuk menentukan kebenaran berbeda-beda, kompleks dan tidak bisa ditemukan satu patokan umum (grand theory)  yang bisa dijadikan dasar untuk menilai setiap kebenaran yang dianut satu orang atau kelompok tertentu.
Seperti hanya filsafat, relativisme juga dapat diletakkan di depan apa saja. Sehingga ada berbagai macam relativisme, misalnya relativisme moral, relativisme kognitif, dan relativisme estetika. Meskipun ada berbagai macam relativisme, mereka semua memiliki dua fitur yang sama.
1.      Semua menyatakan satu hal (misalnya nilai-nilai moral, keindahan, pengetahuan, rasa, atau makna) relatif terhadap beberapa kerangka tertentu atau sudut pandang (misalnya subjek individu, budaya, era, bahasa, atau skema konseptual) .
2.      Semua menyatakan bahwa sudut pandang apapun unik atau istimewa.
Dengan demikian memungkinkan untuk mengklasifikasikan berbagai jenis dan sub-jenis relativisme dalam cara yang cukup jelas. Klasifikasi utama relativisme dapat dibedakan sesuai dengan objek. Dengan demikian, bentuk relativisme moral menegaskan relativitas nilai-nilai moral, bentuk relativisme epistemologis menegaskan relativitas pengetahuan. Klasifikasi ini kemudian dapat dipecah menjadi spesifikasi yang berbeda dengan mengidentifikasi kerangka objek tersebut yang sedang menisbikan. Misalnya, subyektivisme moral adalah bahwa relativisme moral yang merelatifkan nilai moral dengan subjek individu.
Bagaimanapun kontroversial dan koherennya, bentuk-bentuk relativisme jelas akan bervariasi sesuai dengan apa yang menisbikan untuk apa, dan dengan cara apa. Dalam filsafat kontemporer, bentuk yang paling banyak dibahas dari relativisme adalah relativisme moral, relativisme kognitif, dan relativisme estetika.

B.     Pembelajaran Fisika
Proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan belajar dan mengajar. Proses belajar mengajar sering disebut sebagai pembelajaran. Pembelajaran sesungguhnya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau agar siswa belajar (Sugihartono,dkk,2007:73).  Untuk itu harus dipahami darimana siswa memperoleh pengeyahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka guru akan dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswanya.
Fisika adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang menentukan struktur alam semesta degan mengacu pada materi dan energi yang dikandungnya (Alan Isaacs, 1995:330). Fisika tidak mempelajari mengenai perubahan kimia yang terjadi, namun mempelajari gaya-gaya yang ada antara benda-benda dan hubungan timbal balik antara materi dan energi. Fisika terdori dari beberapa bidang yaitu, panas, cahaya, bunyi, listruk magnet, dan mekanika. Namun sejak awal abad ini, mekanika kuantum dan fisika relativistik  menjadi semakin penting, diikuti dengan perkembangan fisika modern, fisika atom, sisika inti, dan fisika partikel.
Dari pengertian fisika yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa  fisika adalah usaha mempelajari gejala alam dan dirumuskan secara matematis, sehingga bersifat terukur atau kuantitatif. Fisika di sekolah dianggap sebagai mata pelajaran momok bagi para peserta didik. Banyak peserta didik yang mengatakan bahwa fisika itu sulit, dan terbukti dengan hasil pembelajaran fisika yang rendah.
Keinginan anak didik sekarang ialah menginginkan pendidik yang bisa memberikan pendidikan dan pengajaran yang mudah mereka pahami, yang bersahabat dengan anak didik, tidak ada sikap diskriminasi dari pendidik serta yang dapat memotivasi mereka. Apalagi dikaitkan dengan pelajaran fisika yang menurut anak didik merupakan pelajaran yang sulit dan begitu banyak rumus yang harus dihafal. Disinilah seorang guru yang dibutuhkan kedepannya untuk mampu menyajikan pelajaran fisika dengan baik sesuai dengan apa yang diinginkan oleh anak didiknya.
Selain dari itu, menjadi guru fisika yang professional nanti memberikan suatu contoh yang baik kepada anak didik, menyeimbangkan pemberian ilmu dengan penyisipan nilai-nilai atau karakter agar anak didik juga bisa menentukan untuk memanfaatkan ilmunya dengan sesuai. Guru fisika harus memiliki kecerdasan, menyampaikan ilmu dengan benar dengan tetap memberikan bimbingan kepada anak didik agar selalu memanfaatkan ilmunya dengan baik.
Fisika memiliki karakteristik yang berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain yakni adanya metode ilmiah, konsep, prinsip, hukum dan teori yang merupakan produk dari suatu proses yang sistematis dan terencana. Metode ilmiah ini diawali dari rasa ingin tahu terhadap fenomena alam melalui pertanyaan dilanjutkan dengan merumuskan masalah, berhipotesis, merancang dan melakukan percobaan, kemudian mengambil data dan diakhiri dengan menyimpulkan hingga diperoleh solusi atas permasalahan yang telah dirumuskan (Heru W, 2012:16).
Menurut Hinduan dalam  Sutopo (2011:6), pembelajaran fisika berpotensi mengembangkan kemahiran fisika generik yang kelak sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi mereka yang akan meniti karier dalam bidang sains maupun yang tidak. Kemahiran fisika generik yang dimaksud adalah: (1) kemahiran mengamati (langsung maupun tak langsung), (2) kesadaran akan skala besaran (sense ofscale), (3) kemahiran menggunakan bahasa simbolik, (4) kemahiran menggunakan logika taat asas, (5) kemahiran melakukan inferensi logika, (6) kemahiran menggunakan hokum sebab-akibat, (7), kemahiran mengembangkan model matematik, dan (8) kemahiran mengembangkan konsep.

C.     Implikasi Aliran Relativisme pada Pembelajaran Fisika
Image “fisika itu sulit” seakan telah tersetting dalam mindset peserta didik maupun masyarakat umum. Bahkan ada salah satu survey yang menyebutkan bahwa Fisika berada di urutan nomor satu mata pelajaran yang paling tidak disukai. Alasannya, Fisika itu sulit untuk dipahami dan terlalu rumit.
Namun nyatanya ada beberapa anak yang senang menggeluti fisika. Terbukti dengan kemenangan anak-anak Indonesia dalam ajang olimpiade internasional. Sebut saja, pada Ipho (International Physics Olimpyad)  ke-37 di Singapura, secara keseluruhan Indonesia memborong empat medali emas dan satu perak. Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) berhasil merebut 4 medali emas dan 1 perak (dari total 37 medali emas, 48 perak, 83 perunggu dan 81 gelar kehormatan). Seperti yang dilansir dalam metrotvnews.com, Tim Indonesia berhasil merebut dua medali emas, satu perak, dan dua perunggu dalam Olimpiade Fisika se-Asia 2012 (Asian Physics Olympiad-APhO 2012) di India 30 April-7 Mei. 2012. Ini merupakan salah satu bukti bahwa ada anak yang mengatakan fisika itu mudah dan menyenangkan. Jadi sebenarnya fisika itu sulit atau tidak, relatif terhadap setiap individu.
Melihat kenyataan tersebut, siswa mempunyai karakteristik masing-masing, maka guru harus kreatif dan inovatif. Kreatif dan inovatif dalam melaksanalan proses belajar mengajar fisika di sekolah. Menggunakan pendekatan, model, atau gaya belajar yang bervariasi sesuai dengan materi yang diajarkan, agar dapat mengcover seluruh siswa.
Kembali lagi pada pengertian fisika, fisika bertugas merumuskan secara matematis suatu gejala alam, jadi bersifat terukur. Sehingga belajar fisika tidak lepas dari pengukuran. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan suatu besaran fisis terhadap standar (satuan). Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:  

 x adalah hasil pengamatan terbaik dan delta x adalah nilai ketidakpastian.
Setiap pengukuran selalu mengandung ketidakpastian, jadi pengukuran itu juga bersifat relatif. Misalnya siswa A dan siswa B ditugaskan mengukur panjang meja yang sama. Dengan cara pengukuran yang sama dan alat ukur yang sama pula, ternyata hasil pengukuran siswa A mempunyai hasil yang berbeda dengan siswa B. Apakah berarti kedua anak tersebut salah dalam pengukuran? tidak, selama prosedur pengukuran kedua anak tersebut benar, namun menunjukkan hasil yang berbeda, itu adalah hal yang wajar. Karena setiap pengukuran mempunyai ketidakpastian yang tidak dapat dihindari karena adanya keterbatasan. Keterbatasan tersebut bisa bersumber dari 4 hal yaitu subjek, objek, alat, dan metode pengukuran.
Manusia tidak terlepas dari dari keterbatasan/ketidak sempurnaan, tak ada di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Begitu juga dalam fisika, selalu ada keterbatasan yang menyebabkan ketidakpastian, sehingga bersifat relatif.
Dalam pembelajaran  fisika, misalkan saja peserta didik dalam satu kelas tertentu, mereka diajar oleh guru yang sama dan mendapat perlakuan yang sama. Namun apakah pengalaman belajar itu mampu memberi pelajaran yang sama bagi peserta didik tersebut?
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan kecepatan cahaya bersifat sama dan absolute, dan waktu relative tergantung kecepatan gerbong- pendapat Einstein- maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sma tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain (Andrea Hirata, 2008: 1).
Setiap pandangan selalu bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif maka apa yang dihasilkannya bersifat relatif. Subyektif di sini yaitu setiap pernyataan selalu dibuat oleh manusia, dan manusia yang membuat pernyataan atau penilaian tentang sesuatu selalu dipengaruhi, bukan saja oleh kelemahan indrawinya, tetapi juga oleh “kekuatan atau kepentingan” dari luar dirinya.
Tidak heran dalam penilaian hasil belajar fisika pun kadang bersifat subjektif. Sehingga untuk menghindari subjektivitas yang semakin tinggi maka ada pathokan atau standar penilaian. Guru harus menggunakan standar penilaian untuk mengurangi subjektivitas, sekaligus mengurangi determinis guru pada siswa.
Itulah contoh-contoh implikasi aliran relativisme dalam pembelajaran fisika, dari persepsi mengenai mata pelajaran fisika, proses pembelajaran hingga pada penilaian hasil belajar fisika dapat ditemuai keadaan-keadaan yang bersifat relatif.


BAB III
KESIMPULAN

Relativisme merupakan salah satu aliran filsafat yang melihat perlunya penghargaan terhadap keberagaman. Setiap pandangan selalu bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif maka apa yang dihasilkannya bersifat relatif. Relatif memberi implikasi khususnya pada pembelajaran fisika, mulai dari persepsi mengenai mata pelajaran fisika, proses pembelajaran hingga pada penilaian hasil belajar fisika.
1.      Persepsi bahwa fisika adalah mata pelajaran yang sulit relatif terhadap setiap individu.
2.      Guru harus kreatif dan inovatif dalam pelaksanaan KBM karena karakteristik siswa berbeda-beda.
3.      Dalam pengukuran besaran fisika, selalu ada keterbatasan yang menyebabkan ketidakpastian, sehingga bersifat relatif.
4.      Pengalaman belajar fisika pada peserta didik dalam satu kelas yang sama belum tentu memberi pelajaran yang sama, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
5.      Penilaian hasil belajar fisika kadang bersifat subjektif. Guru harus menggunakan standar penilaian untuk mengurangi subjektivitas, sekaligus mengurangi determinis guru pada siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Andrea Hirata. (2008). Edersor. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Agus Taranggono, dan Hari Subagja. (2007). Sains Fisika SMA. Jakarta: Bumi Aksara.
Einstein's Philosophy of Science. (2004). Website: http://plato.stanford.edu  diakses tanggal 8 November 2012.
Emrys Westacott. (2005). Relativism . Website: http://www.iep.utm.edu/relativi/ diakses tanggal 29 Desember 2012.
Evania A. Relativisme. (2010). Website: http://matematika2008.blogspot.com diakses tanggal 6 November 2012.
Heru Wahyudi. (2012). Peranan Pendidik Terhadap Penguatan Konsep dan Interpretasi Fisika Melalui Implementasi Pedagogical Content Knowledge untuk Meningkatkan Daya Saing di Era Global. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika FMIPA UNY , ISBN: 978-602-99834-4-9.
Isaac, Alan. (1995). Kamus Lengkap Fisika Referensi Oxford. (Alih bahasa: Ir. J. Danusantoso, M.Sc). Jakarta: Penerbit Erlangga.
MetroTv. (2012). Indonesia Rebut 2 Emas Olimpiade Fisika Asia. Website: http://www.metrotvnews.com diakses tanggal 20 N0vember 2012.
Sugiharto,dkk.2007.Psikologi Pendidikan.Yogyakarta:UNY Press.
Supriyadi. (2010). Teknologi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta:FMIPA UNY.
Sutopo. (2011). Kontribusi Mata Pelajaran Fisika dalam Pendidikan Karakter. Malang: FMIPA UM.
Rizki. (2012). Peningkatan Guru Fisika Profesional dalam Menyongsong Perkembangan dan Perubahan Zaman untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia. Website: http://rizkifisthein.wordpress.com diakses tanggal 3 Januari 2013.
________.(2009). Relativism. Website: http://en.wikipedia.org/wiki/Relativism diakses tanggal 29 Desember 2012.