MENILIK ALIRAN FILSAFAT RELATIVISME
DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA
Makalah Dibuat Dalam Rangka
Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr Marsigit M.A., Th
2012/2013
Disusun
oleh:
Camalina
Sugiyarti S.Pd
12708251078
Pendidikan Sains
Kelas D
BAB I
PENDAHULUAN
Dahulu,
saat ini, dan saat yang akan datang sains atau IPA memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kehidupan kita tergantung
dari alam. IPA berasal dari kata “Scientia” yang berarti saya tahu. Tahu dalam artian
kompeten dengan keilmuan IPA beserta nilai-nilai dan sikap ke IPA an. Secara
utuh IPA adalah natural science, yang
di dalam bahasa Indonesia adalah Ilmu Pengetahuan Alam, ilmu yang mempelajari
tentang alam (Supriyadi, 2010:98). Secara keilmuan hakikat fisika tidak akan
lepas dari hakikat IPA, karena fisika masuk dalam rumpun IPA.
Fisika
terus berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga zaman power now saat ini.
Fisikawan pada zaman Yunani kuno antara lain Aristoletes, Copernicus, Demokritus,
dan Archimedes. Sampai dikenal istilah
fisika klasik dan fisika modern. Tokoh fisika klasik paling terkenal adalah Sir
Isaac Newton, sedangkan pada fisika modern adalah Albert Einstein. Walaupun
sebenarnya masih banyak fisikawan lainnya seperti Niels Bohr, Erwin
Schrodinger, Max Planck, Thomas Young dan lainnya.
Terjadi
perubahan besar di bidang fisika setelah Albert Einstein (1879–1955) pada tahun 1905
menemukakan teori relativitas khusus, dan sepuluh tahun kemudian diusulkan
teori relativitas umum. Relativitas berasal dari kata relatif, lawannya adalah
kemutlakan. Berlandaskan pada teori relativisme yang dikemukakan oleh Einstein
tersebut maka akan dibahas bagaimana implikasinya dalam pembelajaran fisika.
Pembelajaran fisika dipelajarai melalui
pendidikan fisika. Pendidikan fisika merupakan cabang ilmu, yang terdiri dari
interdisiplin ilmu yaitu ilmu fisika dan ilmu pendidikan. Dipandang dari segi
epistimologinya, bidang ilmu fisika dan bidang ilmu pendidikan fisika memang
berbeda, layaknya orang tua dan anak kecil. Jika dilihat dari waktu lahirnya,
ilmu fisika sudah mulai berkembang ada sejak awal peradaban manusia, sedangkan ilmu pendidikan
fisika pada abad baru-baru ini. Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan
fisika sebagai suatu bidang ilmu, saat ini belum mendapat perhatian yang
semestinya dari para ahli fisika.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa
dengan menguasai bidang ilmu fisika maka seseorang sudah cukup cakap menjadi
guru fisika. Padahal tidak sesederhana itu, para ahli fisika memandang
pendidikan fisika secara reduksionism. Seorang yang ahli di bidang pendidikan
fisika harus terlebih dahulu menguasai ilmu fisika sampai tingkat tertentu,
kemudian harus memahami pula ilmu pendidikan dengan bidang-bidangnya, dan dapat
menerapkan teori-teori ilmu pendidikan dalam konteks ilmu fisika untuk tujuan
proses pembelajaran.
BAB II
RELATIVISME DAN PEMBELAJARAN FISIKA
A. Aliran
Relativisme
Relativisme
dalam Wikipedia diartikan sebagai konsep bahwa sudut pandang tidak memiliki
kebenaran mutlak , hanya memiliki kebenaran relatif, nilai subyektif menurut
perbedaan persepsi dan pertimbangan. Relativisme, yang merupakan doktrin bahwa
tidak ada kebenaran mutlak, yaitu kebenaran itu selalu relatif terhadap beberapa
frame tertentu, seperti bahasa atau budaya.
Relativisme diidentifikasi
sebagai kritik dari tesis bahwa
semua sudut pandang yang sama berlaku. Dalam etika, dikatakan bahwa
semua moralitas sama-sama baik, dalam epistemologi ini menunjukkan bahwa semua
keyakinan, atau sistem kepercayaan, sama-sama benar. Kritik relativisme
biasanya mengabaikan pandangan seperti inkoheren karena menyiratkan validitas
bahkan dari pandangan bahwa relativisme adalah palsu (Emrys Westacott, 2005:
1).
Mungkin karena
relativisme dikaitkan dengan pandangan seperti itu, sedikit filsuf yang
bersedia untuk menggambarkan diri mereka sebagai relativis. Namun, sebagian
besar pemikir terkemuka yang telah dituduh relativisme-misalnya, Ludwig
Wittgenstein, Peter Winch, Thomas Kuhn, Richard Rorty, Michel Foucault, Jacques
Derrida-do berbagi kesamaan tertentu yang sementara dikenali relativistik, menyediakan dasar untuk
posisi yang lebih canggih, dan mungkin lebih dapat dipertahankan.
Relativisme juga
diapandang sebagai suatu paham
kenisbian. Sebuah teori yang diperkenalkan oleh Einstein mengenai alam semesta
yang berdasarkan prinsip bahwa ukuran gerakan,ruang dan waktu bersifat relatif.
Lawannya adalah kemutlakan.
Filosofi relativisme berpendapat bahwa manusia terikat
dengan kejadian-kejadian di dunia dan itu membuatnya mungkin bagi setiap orang
untuk berdiri di suatu sisi dan mengamati sebagian “dari kejauhan”.
Pendekatan ini pada dasarnya relevan ketika mempelajari apapun dalam masyarakat
manusia. Metode ilmiah, sayangnya, terikat pada trek inkonsistensi, konflik dan
kepercayaan, idealisme, dan perasaan yang terbentuk sebagai bagian penting
dalam hidup manusia.
Terkait dengan parsimoni, relativis percaya hidup dan
masyarakat tidak sesederhana dan seragam yang membuat penjelasan sederhana
menjadi mungkin, sebab simplikasi biasanya menyiratkan oversimplikasi
(overreduksionis). Kendati kerumitan tidak bisa dihindari, sungguh jarang
terjadi dalam menyimpulkan suatu bentuk formula yang mendekati. Sementara dalam
generalitas, relativis menolak keutamaan atau bahkan posibilitas dari mengkategorisasikan
individual dan bahkan kelas. Sebab keunikan dari masing-masing manusia sangat
sulit untuk memprediksikan masa depan dengan kondisi serupa.
Apa yang dipandang sebagai kebenaran oleh satu orang atau
sekelompok orang belum tentu berlaku bagi orang atau kelompok lain. Ukuran
untuk menentukan kebenaran berbeda-beda, kompleks dan tidak bisa ditemukan satu
patokan umum (grand theory) yang
bisa dijadikan dasar untuk menilai setiap kebenaran yang dianut satu orang atau
kelompok tertentu.
Seperti hanya filsafat, relativisme juga dapat diletakkan di
depan apa saja. Sehingga ada berbagai macam relativisme, misalnya relativisme
moral, relativisme kognitif, dan relativisme estetika. Meskipun ada berbagai
macam relativisme, mereka semua memiliki dua fitur yang sama.
1.
Semua
menyatakan satu hal (misalnya nilai-nilai moral, keindahan, pengetahuan, rasa,
atau makna) relatif terhadap beberapa kerangka tertentu atau sudut pandang
(misalnya subjek individu, budaya, era, bahasa, atau skema konseptual) .
2.
Semua
menyatakan bahwa sudut pandang apapun unik atau istimewa.
Dengan demikian memungkinkan untuk mengklasifikasikan
berbagai jenis dan sub-jenis relativisme dalam cara yang cukup jelas.
Klasifikasi utama relativisme dapat dibedakan sesuai dengan objek. Dengan
demikian, bentuk relativisme moral menegaskan relativitas nilai-nilai moral,
bentuk relativisme epistemologis menegaskan relativitas pengetahuan.
Klasifikasi ini kemudian dapat dipecah menjadi spesifikasi yang berbeda dengan
mengidentifikasi kerangka objek tersebut yang sedang menisbikan. Misalnya,
subyektivisme moral adalah bahwa relativisme moral yang merelatifkan nilai
moral dengan subjek individu.
Bagaimanapun kontroversial dan koherennya, bentuk-bentuk
relativisme jelas akan bervariasi sesuai dengan apa yang menisbikan untuk apa,
dan dengan cara apa. Dalam filsafat kontemporer, bentuk yang paling banyak
dibahas dari relativisme adalah relativisme moral, relativisme kognitif, dan
relativisme estetika.
B. Pembelajaran
Fisika
Proses belajar
mengajar merupakan proses kegiatan belajar dan mengajar. Proses belajar
mengajar sering disebut sebagai pembelajaran. Pembelajaran sesungguhnya
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau agar siswa
belajar (Sugihartono,dkk,2007:73). Untuk
itu harus dipahami darimana siswa memperoleh pengeyahuan dari kegiatan
belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka guru
akan dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswanya.
Fisika adalah
ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang menentukan struktur alam semesta degan
mengacu pada materi dan energi yang dikandungnya (Alan Isaacs, 1995:330).
Fisika tidak mempelajari mengenai perubahan kimia yang terjadi, namun
mempelajari gaya-gaya yang ada antara benda-benda dan hubungan timbal balik
antara materi dan energi. Fisika terdori dari beberapa bidang yaitu, panas,
cahaya, bunyi, listruk magnet, dan mekanika. Namun sejak awal abad ini,
mekanika kuantum dan fisika relativistik
menjadi semakin penting, diikuti dengan perkembangan fisika modern,
fisika atom, sisika inti, dan fisika partikel.
Dari pengertian
fisika yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa fisika adalah usaha mempelajari gejala alam
dan dirumuskan secara matematis, sehingga bersifat terukur atau kuantitatif.
Fisika di sekolah dianggap sebagai mata pelajaran momok bagi para peserta
didik. Banyak peserta didik yang mengatakan bahwa fisika itu sulit, dan
terbukti dengan hasil pembelajaran fisika yang rendah.
Keinginan anak
didik sekarang ialah menginginkan pendidik yang bisa memberikan pendidikan dan
pengajaran yang mudah mereka pahami, yang bersahabat dengan anak didik, tidak
ada sikap diskriminasi dari pendidik serta yang dapat memotivasi mereka.
Apalagi dikaitkan dengan pelajaran fisika yang menurut anak didik merupakan pelajaran
yang sulit dan begitu banyak rumus yang harus dihafal. Disinilah seorang guru
yang dibutuhkan kedepannya untuk mampu menyajikan pelajaran fisika dengan baik
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh anak didiknya.
Selain dari itu,
menjadi guru fisika yang professional nanti memberikan suatu contoh yang baik
kepada anak didik, menyeimbangkan pemberian ilmu dengan penyisipan nilai-nilai
atau karakter agar anak didik juga bisa menentukan untuk memanfaatkan ilmunya
dengan sesuai. Guru fisika harus memiliki kecerdasan, menyampaikan ilmu dengan
benar dengan tetap memberikan bimbingan kepada anak didik agar selalu
memanfaatkan ilmunya dengan baik.
Fisika memiliki
karakteristik yang berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain yakni adanya
metode ilmiah, konsep, prinsip, hukum dan teori yang merupakan produk dari
suatu proses yang sistematis dan terencana. Metode ilmiah ini diawali dari rasa
ingin tahu terhadap fenomena alam melalui pertanyaan dilanjutkan dengan
merumuskan masalah, berhipotesis, merancang dan melakukan percobaan, kemudian
mengambil data dan diakhiri dengan menyimpulkan hingga diperoleh solusi atas
permasalahan yang telah dirumuskan (Heru W, 2012:16).
Menurut
Hinduan dalam Sutopo (2011:6),
pembelajaran fisika berpotensi mengembangkan kemahiran fisika generik yang
kelak sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi mereka yang akan
meniti karier dalam bidang sains maupun yang tidak. Kemahiran fisika generik
yang dimaksud adalah: (1) kemahiran mengamati (langsung maupun tak langsung),
(2) kesadaran akan skala besaran (sense ofscale), (3) kemahiran
menggunakan bahasa simbolik, (4) kemahiran menggunakan logika taat asas, (5)
kemahiran melakukan inferensi logika, (6) kemahiran menggunakan hokum
sebab-akibat, (7), kemahiran mengembangkan model matematik, dan (8) kemahiran
mengembangkan konsep.
C. Implikasi
Aliran Relativisme pada Pembelajaran Fisika
Image
“fisika itu sulit” seakan telah tersetting
dalam mindset peserta didik maupun
masyarakat umum. Bahkan ada salah satu survey yang menyebutkan bahwa Fisika
berada di urutan nomor satu mata pelajaran yang paling tidak disukai.
Alasannya, Fisika itu sulit untuk dipahami dan terlalu rumit.
Namun nyatanya
ada beberapa anak yang senang menggeluti fisika. Terbukti dengan kemenangan
anak-anak Indonesia dalam ajang olimpiade internasional. Sebut saja, pada Ipho
(International Physics Olimpyad) ke-37
di Singapura, secara keseluruhan Indonesia memborong empat medali emas dan satu
perak. Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) berhasil merebut 4 medali emas dan
1 perak (dari total 37 medali emas, 48 perak, 83 perunggu dan 81 gelar
kehormatan). Seperti yang dilansir dalam metrotvnews.com, Tim Indonesia
berhasil merebut dua medali emas, satu perak, dan dua perunggu dalam Olimpiade
Fisika se-Asia 2012 (Asian Physics Olympiad-APhO 2012) di India 30 April-7 Mei.
2012. Ini merupakan salah satu bukti bahwa ada anak yang mengatakan fisika itu
mudah dan menyenangkan. Jadi sebenarnya fisika itu sulit atau tidak, relatif
terhadap setiap individu.
Melihat
kenyataan tersebut, siswa mempunyai karakteristik masing-masing, maka guru
harus kreatif dan inovatif. Kreatif dan inovatif dalam melaksanalan proses
belajar mengajar fisika di sekolah. Menggunakan pendekatan, model, atau gaya
belajar yang bervariasi sesuai dengan materi yang diajarkan, agar dapat mengcover seluruh siswa.
Kembali lagi
pada pengertian fisika, fisika bertugas merumuskan secara matematis suatu
gejala alam, jadi bersifat terukur. Sehingga belajar fisika tidak lepas dari
pengukuran. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan suatu besaran fisis
terhadap standar (satuan). Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk sebagai
berikut:
x adalah hasil pengamatan terbaik dan delta x adalah nilai ketidakpastian.
Setiap
pengukuran selalu mengandung ketidakpastian, jadi pengukuran itu juga bersifat
relatif. Misalnya siswa A dan siswa B ditugaskan mengukur panjang meja yang
sama. Dengan cara pengukuran yang sama dan alat ukur yang sama pula, ternyata
hasil pengukuran siswa A mempunyai hasil yang berbeda dengan siswa B. Apakah
berarti kedua anak tersebut salah dalam pengukuran? tidak, selama prosedur
pengukuran kedua anak tersebut benar, namun menunjukkan hasil yang berbeda, itu
adalah hal yang wajar. Karena setiap pengukuran mempunyai ketidakpastian yang
tidak dapat dihindari karena adanya keterbatasan. Keterbatasan tersebut bisa
bersumber dari 4 hal yaitu subjek, objek, alat, dan metode pengukuran.
Manusia
tidak terlepas dari dari keterbatasan/ketidak sempurnaan, tak ada di dunia ini
yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Begitu juga dalam fisika,
selalu ada keterbatasan yang menyebabkan ketidakpastian, sehingga bersifat
relatif.
Dalam
pembelajaran fisika, misalkan saja
peserta didik dalam satu kelas tertentu, mereka diajar oleh guru yang sama dan
mendapat perlakuan yang sama. Namun apakah pengalaman belajar itu mampu memberi
pelajaran yang sama bagi peserta didik tersebut?
Jika hidup
ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka
pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah
cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya
berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang
melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan kecepatan
cahaya bersifat sama dan absolute, dan waktu relative tergantung kecepatan
gerbong- pendapat Einstein- maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja,
namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sma tadi memberi pelajaran
pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain (Andrea Hirata,
2008: 1).
Setiap
pandangan selalu bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif maka apa yang
dihasilkannya bersifat relatif. Subyektif di sini yaitu setiap pernyataan
selalu dibuat oleh manusia, dan manusia yang membuat pernyataan atau penilaian
tentang sesuatu selalu dipengaruhi, bukan saja oleh kelemahan indrawinya,
tetapi juga oleh “kekuatan atau kepentingan” dari luar dirinya.
Tidak
heran dalam penilaian hasil belajar fisika pun kadang bersifat subjektif.
Sehingga untuk menghindari subjektivitas yang semakin tinggi maka ada pathokan
atau standar penilaian. Guru harus menggunakan standar penilaian untuk
mengurangi subjektivitas, sekaligus mengurangi determinis guru pada siswa.
Itulah
contoh-contoh implikasi aliran relativisme dalam pembelajaran fisika, dari
persepsi mengenai mata pelajaran fisika, proses pembelajaran hingga pada
penilaian hasil belajar fisika dapat ditemuai keadaan-keadaan yang bersifat
relatif.
BAB III
KESIMPULAN
Relativisme merupakan salah satu aliran filsafat yang
melihat perlunya penghargaan terhadap keberagaman. Setiap pandangan selalu
bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif maka apa yang dihasilkannya
bersifat relatif. Relatif memberi implikasi khususnya pada pembelajaran fisika,
mulai dari persepsi mengenai mata pelajaran fisika, proses pembelajaran hingga
pada penilaian hasil belajar fisika.
1.
Persepsi
bahwa fisika adalah mata pelajaran yang sulit relatif terhadap
setiap individu.
2.
Guru harus kreatif dan inovatif dalam
pelaksanaan KBM karena karakteristik siswa berbeda-beda.
3.
Dalam
pengukuran besaran fisika, selalu ada keterbatasan yang menyebabkan
ketidakpastian, sehingga bersifat relatif.
4.
Pengalaman
belajar fisika pada peserta didik dalam satu kelas yang sama belum tentu
memberi pelajaran yang sama, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
5.
Penilaian
hasil belajar fisika kadang bersifat subjektif. Guru harus menggunakan standar
penilaian untuk mengurangi subjektivitas, sekaligus mengurangi determinis guru
pada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Andrea Hirata.
(2008). Edersor. Yogyakarta: Penerbit
Bentang.
Agus Taranggono,
dan Hari Subagja. (2007). Sains Fisika
SMA. Jakarta: Bumi Aksara.
Heru Wahyudi.
(2012). Peranan Pendidik Terhadap Penguatan Konsep dan Interpretasi Fisika
Melalui Implementasi Pedagogical Content Knowledge untuk Meningkatkan Daya
Saing di Era Global. Prosiding Seminar
Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika FMIPA UNY , ISBN: 978-602-99834-4-9.
Isaac, Alan.
(1995). Kamus Lengkap Fisika Referensi
Oxford. (Alih bahasa: Ir. J. Danusantoso, M.Sc). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
MetroTv. (2012).
Indonesia Rebut 2 Emas Olimpiade Fisika
Asia. Website: http://www.metrotvnews.com
diakses tanggal 20 N0vember 2012.
Sugiharto,dkk.2007.Psikologi Pendidikan.Yogyakarta:UNY Press.
Supriyadi.
(2010). Teknologi Pembelajaran Fisika.
Yogyakarta:FMIPA UNY.
Sutopo. (2011). Kontribusi Mata Pelajaran Fisika dalam
Pendidikan Karakter. Malang: FMIPA UM.
Rizki. (2012). Peningkatan Guru Fisika Profesional dalam Menyongsong
Perkembangan dan Perubahan Zaman untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia.
Website: http://rizkifisthein.wordpress.com
diakses tanggal 3 Januari 2013.