Adab
Berfilsafat
Refleksi
Kuliah Filsafat Ilmu (Pengampu: Dr. Marsigit)
Camalina
Sugiyarti (12708251078/Psn D)
PPs
UNY
2012
Mendengar
kata “filsafat” yang ada di benak saya adalah sesuatu yang memerlukan pemikiran
tingkat tinggi. Setelahmengikuti kuliah
perdana mata kuliah filsafat ilmu ternyata filsafat sekedar olah pikir. Sehingga
dalam berfilsafat ada hal yang harus dikontrol.Objek filsafat adalah sesuatu
yang ada atau mungkin ada. Hal yang dianggap sepele pun bisa difilsafatkan,
misalkan filsafat semut. Berfilsafat merupakan hal normatif yang memerlukan
adab.
Adab
pertama dalam berfilsafat adalah “teguhkan hatimu”. Sebelum kita mulai
berfilsafat kita harus yakin dengan keyakinan yang ada di dalam hati kita
sebelumya, misalnya saya yakin bahwa Tuhan Yang Esa itu benar-benar ada. Ketika
kita mulai berfilsafat mengenai apapun
itu, filsafat cinta, filsafat hidup, filsafat fisika, filsafat dunia, dan
bahkan filsafat filsafat maka pemikiran atau logika kita mulai bekerja. Sehebat
apapun logika, sehebat apaun ilmu yang dimiliki oleh seseorang, seorang yang
jenius sekalipun, pemikiran ada batasnya. Jika kita memikirkan sesuatu dan kita
tidak dapat memecahkannya dengan logika, maka kembalikan masalah tersebut pada
hati. Karena sehebat apapun logika tidak akan pernah bias mengetahui isi relung
hati orang lain, bahkan diri kita sendiri.
Kenapa
kita harus mengembalikan suatu masalah ke hati? Bukankah akan lebih baik jika
terus memikirkan solusinya dengan logika? Nah, disinilah mengapa berfilsafat
perlu dikontrol, karena jika lepas kendali itu justru tidak sesuai dengan
hakikat filsafat itu sendiri. Posisi berfilsafat atau normatif dapat dilihat
dalam bagan seperti berikut ini:
Materi
dan formal merupakan objek filsafat. Formal contohnya adalah undang-undang,
pancasila, atau aturan-aturan tertulis lainnya. Sedangkan filsafat memasuki
posisi normatif, dimana aturan-aturan tersebut berlaku secara umum namun
walaupun tidak tertulis. Seperti bersuci terlebih dahulu sebelum memasuki
masjid, tata karma, sopan santun, dan lain sebagainya. Dan yang menduduki
posisi paling tinggi adalah spiritual, yaitu hati. Inilah alas n mengapa kita
kembalikan suatu permasalahan yang sudah tidak bisa dijangkau oleh pemikiran
kita ke hati.
Adab
kedua dalam berfilsafat adalah “luruhkan” , luruhkan ego dalam pikiranmu,
luruhkan sombong dalam hatimu. Semua yang ada di jagat raya ini tidak ada yang
sempurna. Sehebat apaun dirimu, ada saja sesuatu yang tidak bisa engkau
ketahui. Tidak semua masalah dapat
dipecahkan dengan rumus fisika atau matematika, dengan teori-teori yang luar biasa, atau bahkan
teknologi mutakhir sekalpun. Disinilah peran besar spiritual.
Sayangnya
di era sekarang keberadaan spiritual semakin tertekan dengan adanya
modernisasi. Saat ini kita hidup di era ekonomi, politik, dan teknologi yang
sedang menguasai dunia. Hampir seluruh umat manusia menentukan tujuan hidupnya
pada ketiga hal tersebut, hingga banyak yang mengabaikan spiritual.
Agar
kita berfilsafat sesuai dengan hakikat filsafat itu sendiri maka alangkah
baiknya jika kita memperhatikan adab-adab dalam berfilsafat, yaitu “teguhkan
hatimu” dan “luruhkan egomu”. Dengan berfilsafat kita semakin menghargai
spiritual, bukan sebaliknya.
Pertanyaan:
1.
Saat ini merupakan era pendidikan (bukan
lagi zaman kebodohan) , tapi mengapa semakin banyak orang yang meninggalkan
spiritual?